Sejak krisis ekonomi melanda dunia belakangan ini, beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya. Mereka yang semula hidup mapan tiba-tiba harus memulai segala sesuatunya dari bawah.
Sudah hampir satu bulan ini, Hendra (41) lebih banyak berada di rumah. Ayah dua anak yang tinggal di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, itu baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai pengawas bidang pemeliharaan alat-alat berat di sebuah perusahaan pengeboran minyak.
Hendra tidak pernah menyangka tuntutan kenaikan gaji yang ia ajukan bersama teman-temannya berbuntut pada pemecatan. Padahal, ia sudah bekerja lebih dari enam tahun di perusahaan asing tersebut. Ia tidak boleh lagi bekerja setelah statusnya sebagai pekerja kontrak dicabut oleh manajemen perusahaan.
”Saya menuntut perbaikan kesejahteraan karena selama enam tahun ini gaji kami sebagai pekerja lapangan tidak naik-naik,” tutur Hendra yang sebelumnya mendapat gaji sekitar Rp 5 juta per bulan.
Kebutuhan hidup yang terus meningkat tanpa diimbangi pemasukan yang cukup membuat hidup Hendra semakin mepet. Dalam sekejap ia kehilangan satu-satunya penghasilan untuk menopang ekonomi rumah tangganya. Istrinya tidak bekerja, sementara kedua anaknya tentu membutuhkan biaya pendidikan yang tidak sedikit. Belum lagi ia masih harus membantu ibunya yang tinggal di kota lain.
Ekonomi rumah tangga Tri Handini (40) juga goyang ketika ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai marketing perusahaan informasi dan teknologi (IT) di Jakarta. Maklum saja, gajinya selama ini menyumbang separuh dari total penghasilan rumah tangga yang ia kumpulkan bersama suaminya.
Perempuan yang akrab dipanggil Tuti ini terpaksa mengundurkan diri dari perusahaannya tahun 2009 lalu karena perusahaan tempat ia bekerja bermasalah. Sebelum mundur, ia dan 10 teman-temannya sempat dirumahkan hanya dengan menerima separuh gaji.
”Saya mundur karena percuma bertahan. Perusahaan tidak punya itikad baik untuk membayar karyawannya. Jangankan pesangon, uang Jamsostek yang dipotong dari gaji kami pun tidak dibayarkan,” kata Tuti yang lalu membuka usaha aksesori pakaian dan mukena.
Harga diri
Bagi laki-laki dengan embel-embel status kepala rumah tangga, kehilangan pekerjaan tidak hanya berarti kehilangan penghasilan, tetapi juga berimbas pada runtuhnya harga diri dan rasa percaya diri. Setidaknya itulah yang dirasakan Hendra ketika tidak lagi bekerja.
Agar bisa tetap menghidupi keluarga sekaligus menyelamatkan harga dirinya, Hendra rela bekerja apa saja. Ia memilih untuk mencari pekerjaan baru sambil bekerja seadanya sebagai sopir mobil sewaan. Meski penghasilannya tidak tetap, hanya mendapat Rp 100.000 sekali jalan, Hendra sudah bersyukur.
”Setidaknya saya masih bisa memberi makan dan menyisihkan untuk uang jajan anak,” tutur Hendra. Ia kini sudah menerima panggilan kerja di beberapa tempat di seputaran Jakarta.
Erick Kadarman (38) juga merasakan hal yang sama. Sebagai kepala rumah tangga, ketika ekonomi keluarganya anjlok akibat PHK, ia menyimpan perasaan bersalah, terutama kepada anaknya. ”Hati seperti diiris-iris melihat anak meminta sesuatu, tetapi saya tidak bisa memberikan,” tutur Erick.
Agar tetap bisa menghidupi keluarga sekaligus menyelamatkan harga dirinya, Erick rela bekerja apa saja untuk menambah pemasukan rumah tangga ketika perusahaan tempat ia bekerja di Jakarta mulai goyah. ”Saya harus menyiapkan sekoci baru sebelum ’kapal’ yang saya tumpangi benar-benar tenggelam,” kenang Erick.
Sambil tetap bekerja di perusahaan IT yang sudah digelutinya selama dua tahun, Erick juga berjualan pakaian. Baju dan celana yang ia beli dari Pasar Tanah Abang itu ia titipkan ke kantor-kantor temannya. Ternyata hasilnya lumayan.
Dari situlah Erick mulai menimbang-nimbang apakah akan mencari tempat kerja baru atau banting setir merintis bisnis apabila ia benar-benar di PHK. Dan, pilihannya jatuh pada yang terakhir.
Dengan modal tabungan Rp 7 juta, Erick mencoba berjualan burger di gerobak kaki lima di Jalan Lamandau, Jakarta Selatan, sambil masih tetap bekerja. Karena minim modal, awalnya Erick harus mengerjakan segala sesuatunya sendirian dibantu sang istri.
Jadilah pagi hingga sore hari Erick bekerja di kantor dan malamnya ia sudah siap di pinggir jalan untuk memasak burger. Karena lokasi jualannya merupakan tempat nongkrong anak muda, Erick membuka gerainya hingga pukul 12.00 malam.
Pulang dari berjualan ia masih harus belanja sayuran ke pasar, lalu mengolah daging burger di dapur rumahnya. Seluruh pekerjaan baru selesai sekitar pukul 04.00 pagi. Praktis Erick hanya punya waktu sekitar 2-3 jam untuk tidur sebelum ia berangkat lagi ke kantor.
Hasil kerja keras Erick berbuah nikmat. Bisnis burger yang ia beri nama Burger Blenger ini laris dilirik pembeli. Dalam waktu empat bulan, ia sudah bisa mengantongi keuntungan sekitar Rp 4 juta per bulan, sama dengan gaji yang ia peroleh dari perusahaan IT yang memecatnya.
Setelah lebih dari delapan tahun berjalan, usaha burger yang dirintisnya semakin besar dan sudah memiliki empat outlet dan satu departemen pesan antar. Dalam satu hari, ia bisa menjual rata-rata 6.500 burger, dengan omzet sekitar Rp 50 juta per bulan.
Sudah hampir satu bulan ini, Hendra (41) lebih banyak berada di rumah. Ayah dua anak yang tinggal di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, itu baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai pengawas bidang pemeliharaan alat-alat berat di sebuah perusahaan pengeboran minyak.
Hendra tidak pernah menyangka tuntutan kenaikan gaji yang ia ajukan bersama teman-temannya berbuntut pada pemecatan. Padahal, ia sudah bekerja lebih dari enam tahun di perusahaan asing tersebut. Ia tidak boleh lagi bekerja setelah statusnya sebagai pekerja kontrak dicabut oleh manajemen perusahaan.
”Saya menuntut perbaikan kesejahteraan karena selama enam tahun ini gaji kami sebagai pekerja lapangan tidak naik-naik,” tutur Hendra yang sebelumnya mendapat gaji sekitar Rp 5 juta per bulan.
Kebutuhan hidup yang terus meningkat tanpa diimbangi pemasukan yang cukup membuat hidup Hendra semakin mepet. Dalam sekejap ia kehilangan satu-satunya penghasilan untuk menopang ekonomi rumah tangganya. Istrinya tidak bekerja, sementara kedua anaknya tentu membutuhkan biaya pendidikan yang tidak sedikit. Belum lagi ia masih harus membantu ibunya yang tinggal di kota lain.
Ekonomi rumah tangga Tri Handini (40) juga goyang ketika ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai marketing perusahaan informasi dan teknologi (IT) di Jakarta. Maklum saja, gajinya selama ini menyumbang separuh dari total penghasilan rumah tangga yang ia kumpulkan bersama suaminya.
Perempuan yang akrab dipanggil Tuti ini terpaksa mengundurkan diri dari perusahaannya tahun 2009 lalu karena perusahaan tempat ia bekerja bermasalah. Sebelum mundur, ia dan 10 teman-temannya sempat dirumahkan hanya dengan menerima separuh gaji.
”Saya mundur karena percuma bertahan. Perusahaan tidak punya itikad baik untuk membayar karyawannya. Jangankan pesangon, uang Jamsostek yang dipotong dari gaji kami pun tidak dibayarkan,” kata Tuti yang lalu membuka usaha aksesori pakaian dan mukena.
Harga diri
Bagi laki-laki dengan embel-embel status kepala rumah tangga, kehilangan pekerjaan tidak hanya berarti kehilangan penghasilan, tetapi juga berimbas pada runtuhnya harga diri dan rasa percaya diri. Setidaknya itulah yang dirasakan Hendra ketika tidak lagi bekerja.
Agar bisa tetap menghidupi keluarga sekaligus menyelamatkan harga dirinya, Hendra rela bekerja apa saja. Ia memilih untuk mencari pekerjaan baru sambil bekerja seadanya sebagai sopir mobil sewaan. Meski penghasilannya tidak tetap, hanya mendapat Rp 100.000 sekali jalan, Hendra sudah bersyukur.
”Setidaknya saya masih bisa memberi makan dan menyisihkan untuk uang jajan anak,” tutur Hendra. Ia kini sudah menerima panggilan kerja di beberapa tempat di seputaran Jakarta.
Erick Kadarman (38) juga merasakan hal yang sama. Sebagai kepala rumah tangga, ketika ekonomi keluarganya anjlok akibat PHK, ia menyimpan perasaan bersalah, terutama kepada anaknya. ”Hati seperti diiris-iris melihat anak meminta sesuatu, tetapi saya tidak bisa memberikan,” tutur Erick.
Agar tetap bisa menghidupi keluarga sekaligus menyelamatkan harga dirinya, Erick rela bekerja apa saja untuk menambah pemasukan rumah tangga ketika perusahaan tempat ia bekerja di Jakarta mulai goyah. ”Saya harus menyiapkan sekoci baru sebelum ’kapal’ yang saya tumpangi benar-benar tenggelam,” kenang Erick.
Sambil tetap bekerja di perusahaan IT yang sudah digelutinya selama dua tahun, Erick juga berjualan pakaian. Baju dan celana yang ia beli dari Pasar Tanah Abang itu ia titipkan ke kantor-kantor temannya. Ternyata hasilnya lumayan.
Dari situlah Erick mulai menimbang-nimbang apakah akan mencari tempat kerja baru atau banting setir merintis bisnis apabila ia benar-benar di PHK. Dan, pilihannya jatuh pada yang terakhir.
Dengan modal tabungan Rp 7 juta, Erick mencoba berjualan burger di gerobak kaki lima di Jalan Lamandau, Jakarta Selatan, sambil masih tetap bekerja. Karena minim modal, awalnya Erick harus mengerjakan segala sesuatunya sendirian dibantu sang istri.
Jadilah pagi hingga sore hari Erick bekerja di kantor dan malamnya ia sudah siap di pinggir jalan untuk memasak burger. Karena lokasi jualannya merupakan tempat nongkrong anak muda, Erick membuka gerainya hingga pukul 12.00 malam.
Pulang dari berjualan ia masih harus belanja sayuran ke pasar, lalu mengolah daging burger di dapur rumahnya. Seluruh pekerjaan baru selesai sekitar pukul 04.00 pagi. Praktis Erick hanya punya waktu sekitar 2-3 jam untuk tidur sebelum ia berangkat lagi ke kantor.
Hasil kerja keras Erick berbuah nikmat. Bisnis burger yang ia beri nama Burger Blenger ini laris dilirik pembeli. Dalam waktu empat bulan, ia sudah bisa mengantongi keuntungan sekitar Rp 4 juta per bulan, sama dengan gaji yang ia peroleh dari perusahaan IT yang memecatnya.
Setelah lebih dari delapan tahun berjalan, usaha burger yang dirintisnya semakin besar dan sudah memiliki empat outlet dan satu departemen pesan antar. Dalam satu hari, ia bisa menjual rata-rata 6.500 burger, dengan omzet sekitar Rp 50 juta per bulan.
No comments:
Post a Comment