Berawal dari ketidaksengajaan, Mustamil telah menemukan jalannya untuk meraup puluhan juta, dengan kaligrafi bambung runcing Al-Mustamil.
"Tadinya juga enggak sengaja juga sih, ya coba-coba aja," ujar Mustamil kepada Kompas.com di Jakarta, Sabtu (23/4/2011).
Awalnya, Mustamil memulai eksperimennya dengan pelepah pepaya. "Tadinya kan mengambil batang pepaya untuk (buat) mainan. Saya coba potong menyerong tahu-tahu bisa membentuk kalimat Allah," ujar pria yang pernah menjalankan usaha rumah makan ini.
Dari situ, ketika sedang jalan-jalan ke pegunungan, dia pun melihat bambu dan mencobanya. Dengan rasa senang dan percaya diri, dia coba mengembangkannya. Namun Mustamil mengungkapkan kesulitannya dalam berproduksi jika tidak menemukan bambu kering. "Saya kurang perhatian tentang bahan baku," ujarnya.
Mustamil mengatakan, cukup irit dalam menggunakan bambu. Satu gelondong bisa jadi tiga-empat karya. Untuk menghasilkan ukiran kaligrafi yang bagus, dia membutuhkan bambu yang dan bagian bawahnya, karena kebutuhan akan ketebalan batangnya.
"Sebenarnya di mana-mana bisa, cuma bambu yang bagus ditanam di tanah merah," katanya.
Bambu yang ditanam di tanah merah memiliki tekstur khusus. Banyak pori-pori di potongan batangnya, dan pencarian bambu pun tidak jauh dari pusat pembuatannya di Yogyakarta.
Untuk modal awal, Mustamil mengaku tidak banyak mengeluarkan dana. Hanya Rp 150.000-Rp200.000. Sampai kini, dana tidak menjadi masalah bagi usaha kaligrafi tulisan arabnya itu.
Mengenai pemasaran, Mustamil mengaku masih menggunakan cara personal, yaitu dari mulut ke mulut, lewat pameran, dan lewat konsinyasi. Hingga kini dia belum menggunakan agen karena pembuatannya belum bisa massal. Belum lagi jika diproduksi secara massal,dikhawatirkan orang akan berpikir kaligrafi bambu mudah cara pembuatannya.
Bahkan untuk pekerja, Mustamil hanya menggunakan tenaga kerja sebanyak dua orang saja, termasuk dirinya.
Sekalipun produksi belum banyak, permintaan pun telah merambah daratan Eropa, khususnya Perancis. "Dari akademi apa itu tadi," ungkapnya mengenai si pembeli dari Perancis tersebut, yang bertemu di pameran Inacraft, di Jakarta Convention Center (JCC), beberapa waktu lalu.
Terkait omzet, usaha yang telah dimulainya sejak 2007 ini bisa mencapai Rp 35 juta per bulannya, dengan 10-20 karya yang dihasilkan. Harganya pun bervariasi antara Rp 1 juta dan Rp 5 juta.
"Misalnya sulit tapi bisa berhasil, saya senang, nah itu bisa mahal," ungkapnya, mengenai harga yang bervariasi berdasarkan tingkat kesulitan pengerjaannya.
Ke depannya, dia berkeinginan membuka toko di Jawa Barat, di sebuah pesantren. Sembari membuka toko, dia pun diminta mengajari para santri di pesantren tersebut.
No comments:
Post a Comment