Perbankan kian gencar menyalurkan kredit konsumsi kepada masyarakat. Salah satu indikatornya terlihat dari meluasnya penggunaan kartu kredit. Kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan bank bersambut dengan gaya hidup masyarakat yang konsumtif.
Perkembangan kredit konsumsi selama lima tahun terakhir meningkat sekitar 21 persen per tahun. Pada tahun 2006, jumlahnya Rp 226,3 triliun dan menjadi Rp 537 triliun pada 2010.
Penggunaan kartu kredit pun meningkat. Data Bank Indonesia menunjukkan, penerbitan kartu kredit naik 14,7 persen per tahun selama kurun 2008 hingga 2010. Pada akhir 2010 terdapat 13,57 juta kartu dan akhir Februari 2011 bertambah lagi menjadi 13,8 juta kartu kredit yang beredar di masyarakat.
Dari segi nilai, transaksi kartu utang ini tumbuh dengan angka lebih besar, yaitu 31,52 persen per tahun, untuk periode yang sama. Sepanjang tahun lalu, nilai transaksi menggunakan kartu gesek ini mencapai Rp 163,21 triliun.
Penggunaan kartu kredit yang meluas ini juga terekam dalam hasil survei Kompas mengenai penggunaan kartu kredit, awal pekan ini. Satu dari lima responden yang berdomisili di Ibu Kota memiliki kartu kredit. Kepemilikannya pun terkadang lebih dari satu kartu.
Penggunaan kartu kredit sudah menjadi bagian hidup masyarakat kota. Sebagian besar responden (75,6 persen) yang merupakan pemilik kartu kredit menyatakan, mereka menggunakan kartu kredit untuk keperluan makan dan belanja kebutuhan sehari-hari. Hampir separuhnya menggunakan kartu kredit untuk membeli barang elektronik atau keperluan yang berhubungan dengan kenyamanan hidup.
Hanya sebagian kecil memanfaatkan kartu kredit untuk keperluan dana tunai (29 persen). Data Bank Indonesia menunjukkan, penggunaan kartu kredit terbesar memang untuk transaksi belanja (97 persen) dan sisanya untuk penarikan tunai.
Kebiasaan berbelanja harian menggunakan kartu kredit kemudian dimanfaatkan pihak bank untuk bekerja sama dengan pusat belanja ritel dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebut saja Bank Central Asia yang menggandeng peritel Carrefour, BNI dengan Lotte Mart, Bank Mandiri dengan Hypermart, serta Citibank dengan Giant.
Sebanyak 40 persen responden mengaku memiliki kartu kredit yang diterbitkan model kerja sama bank-peritel ini. Iming-iming berbelanja hemat dengan mendapat poin atau bonus tertentu rupanya cukup meyakinkan masyarakat.
Kemudahan
Memasarkan kartu kredit di Indonesia tergolong mudah. Majalah ekonomi bulanan Indocommercial bahkan menyebut Indonesia sebagai tempat paling mudah untuk mendapatkan kartu kredit. Banyak penawaran kartu kredit di pusat-pusat perbelanjaan dengan janji kemudahan aplikasi tanpa pertimbangan memadai dalam menilai kemampuan bayar calon nasabah. Gampangnya mendapatkan kartu kredit ini menjadi faktor penarik kedua terbanyak (14,8 persen) bagi responden dalam memilih berbagai tawaran kartu kredit. Memilih berdasarkan nama baik dan reputasi bank penerbit kartu masih menjadi pertimbangan utama (36,3 persen).
Kepemilikan kartu utang yang terlalu mudah dan kecenderungan meringankan penilaian kekuatan finansial calon nasabah terlihat pula dengan adanya responden yang tergolong kelompok ekonomi bawah, tetapi memiliki lebih dari satu kartu kredit. Ketidakcocokan latar belakang ekonomi dengan pengeluaran kartu kredit juga menyebabkan sekitar 10 persen responden pemilik kartu kredit melakukan praktik gali lubang demi menutup lubang, membayar tagihan kartu kredit satu dengan menambah utang di kartu kredit lain.
Pola lain yang terungkap adalah hampir 40 persen pemilik kartu kredit di Ibu Kota memilih membayar dengan jumlah tagihan minimum tiap bulan. Padahal, pemegang kartu plastik ini biasanya dibebani bunga cukup tinggi oleh penerbit kartu kredit, mencapai 3,5 persen per bulan. Bunga ini yang menjadi sumber pendapatan penerbit kartu kredit.
Potensi pasar kredit di negeri ini akan mengundang lebih banyak pemain baru, termasuk pihak asing, ikut meraup untung. Saat ini, bank asing memegang urutan pertama dalam mengucurkan pinjaman melalui kartu kredit di Indonesia. Menurut catatan BI, bank asing telah mengalirkan 36,62 persen dari total utang yang penggunaannya melalui kartu kredit.
Selain gencarnya penawaran kartu kredit, penyedia utang menggalakkan promosi kredit tanpa agunan (KTA). Cara mendapatkan kredit ini pun tergolong mudah, terutama bagi masyarakat yang sudah memiliki satu jenis kartu kredit.
Lebih dari separuh responden survei ini pernah ditawari KTA. Promosi utang tanpa jaminan ini lazimnya dilakukan melalui pesan singkat di telepon genggam, menelepon langsung, juga penawaran kepada pengunjung pusat perbelanjaan.
Penagih utang
Potensi pasar kartu kredit atau kredit konsumsi lainnya tentu akan semakin meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Tetapi, peningkatan itu bukan tanpa risiko bagi bank penyalur kredit. Risiko yang dihadapi berupa kredit macet atau bermasalah.
Sebagian kecil (22 persen) pemilik kartu kredit yang diwawancarai mengaku pernah menunggak atau alpa membayar tagihan kredit. Alasannya beragam, mulai dari lupa, tidak punya dana, hingga malas.
Untuk mengantisipasi hal itu, bank biasanya mengetatkan pengawasan terhadap pembayaran tagihan nasabah agar tidak melampaui batas jatuh tempo. Tak jarang bank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector).
Sekitar 20 persen pemilik kartu kredit atau keluarganya pernah dihubungi oleh penagih utang. Cara umum yang dilakukan oleh tukang tagih ini biasanya dengan menelepon dan mendatangi rumah responden atau keluarga responden.
Terkait keberadaan tukang tagih utang ini, lebih dari separuh responden yang mempunyai kartu kredit menekankan, peran penagih utang tidak diperlukan. Masyarakat berharap ada cara lain menegosiasikan utang yang macet selain harus berhadapan dengan tukang tagih yang disewa bank.
Pendapat ini terkait dengan peristiwa tewasnya seorang nasabah kartu kredit yang diduga akibat perlakuan penagih utang. Kekhawatiran di kalangan pengguna kartu kredit pun bermunculan. Dampaknya, meski tidak bertindak reaktif dengan segera menutup kartu kredit mereka, pemilik kartu kredit menyatakan akan lebih berhati-hati menggunakan kartu kredit dan melakukan pembayaran.
Meski demikian, responden menilai, peristiwa itu memberi kesan buruk terhadap wajah perbankan. Ditambah kasus pembobolan dana nasabah yang memperlihatkan lemahnya pengawasan internal bank terhadap dana nasabah.(RATNA SRI WIDYASTUTI/LITBANG KOMPAS)
Perkembangan kredit konsumsi selama lima tahun terakhir meningkat sekitar 21 persen per tahun. Pada tahun 2006, jumlahnya Rp 226,3 triliun dan menjadi Rp 537 triliun pada 2010.
Penggunaan kartu kredit pun meningkat. Data Bank Indonesia menunjukkan, penerbitan kartu kredit naik 14,7 persen per tahun selama kurun 2008 hingga 2010. Pada akhir 2010 terdapat 13,57 juta kartu dan akhir Februari 2011 bertambah lagi menjadi 13,8 juta kartu kredit yang beredar di masyarakat.
Dari segi nilai, transaksi kartu utang ini tumbuh dengan angka lebih besar, yaitu 31,52 persen per tahun, untuk periode yang sama. Sepanjang tahun lalu, nilai transaksi menggunakan kartu gesek ini mencapai Rp 163,21 triliun.
Penggunaan kartu kredit yang meluas ini juga terekam dalam hasil survei Kompas mengenai penggunaan kartu kredit, awal pekan ini. Satu dari lima responden yang berdomisili di Ibu Kota memiliki kartu kredit. Kepemilikannya pun terkadang lebih dari satu kartu.
Penggunaan kartu kredit sudah menjadi bagian hidup masyarakat kota. Sebagian besar responden (75,6 persen) yang merupakan pemilik kartu kredit menyatakan, mereka menggunakan kartu kredit untuk keperluan makan dan belanja kebutuhan sehari-hari. Hampir separuhnya menggunakan kartu kredit untuk membeli barang elektronik atau keperluan yang berhubungan dengan kenyamanan hidup.
Hanya sebagian kecil memanfaatkan kartu kredit untuk keperluan dana tunai (29 persen). Data Bank Indonesia menunjukkan, penggunaan kartu kredit terbesar memang untuk transaksi belanja (97 persen) dan sisanya untuk penarikan tunai.
Kebiasaan berbelanja harian menggunakan kartu kredit kemudian dimanfaatkan pihak bank untuk bekerja sama dengan pusat belanja ritel dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebut saja Bank Central Asia yang menggandeng peritel Carrefour, BNI dengan Lotte Mart, Bank Mandiri dengan Hypermart, serta Citibank dengan Giant.
Sebanyak 40 persen responden mengaku memiliki kartu kredit yang diterbitkan model kerja sama bank-peritel ini. Iming-iming berbelanja hemat dengan mendapat poin atau bonus tertentu rupanya cukup meyakinkan masyarakat.
Kemudahan
Memasarkan kartu kredit di Indonesia tergolong mudah. Majalah ekonomi bulanan Indocommercial bahkan menyebut Indonesia sebagai tempat paling mudah untuk mendapatkan kartu kredit. Banyak penawaran kartu kredit di pusat-pusat perbelanjaan dengan janji kemudahan aplikasi tanpa pertimbangan memadai dalam menilai kemampuan bayar calon nasabah. Gampangnya mendapatkan kartu kredit ini menjadi faktor penarik kedua terbanyak (14,8 persen) bagi responden dalam memilih berbagai tawaran kartu kredit. Memilih berdasarkan nama baik dan reputasi bank penerbit kartu masih menjadi pertimbangan utama (36,3 persen).
Kepemilikan kartu utang yang terlalu mudah dan kecenderungan meringankan penilaian kekuatan finansial calon nasabah terlihat pula dengan adanya responden yang tergolong kelompok ekonomi bawah, tetapi memiliki lebih dari satu kartu kredit. Ketidakcocokan latar belakang ekonomi dengan pengeluaran kartu kredit juga menyebabkan sekitar 10 persen responden pemilik kartu kredit melakukan praktik gali lubang demi menutup lubang, membayar tagihan kartu kredit satu dengan menambah utang di kartu kredit lain.
Pola lain yang terungkap adalah hampir 40 persen pemilik kartu kredit di Ibu Kota memilih membayar dengan jumlah tagihan minimum tiap bulan. Padahal, pemegang kartu plastik ini biasanya dibebani bunga cukup tinggi oleh penerbit kartu kredit, mencapai 3,5 persen per bulan. Bunga ini yang menjadi sumber pendapatan penerbit kartu kredit.
Potensi pasar kredit di negeri ini akan mengundang lebih banyak pemain baru, termasuk pihak asing, ikut meraup untung. Saat ini, bank asing memegang urutan pertama dalam mengucurkan pinjaman melalui kartu kredit di Indonesia. Menurut catatan BI, bank asing telah mengalirkan 36,62 persen dari total utang yang penggunaannya melalui kartu kredit.
Selain gencarnya penawaran kartu kredit, penyedia utang menggalakkan promosi kredit tanpa agunan (KTA). Cara mendapatkan kredit ini pun tergolong mudah, terutama bagi masyarakat yang sudah memiliki satu jenis kartu kredit.
Lebih dari separuh responden survei ini pernah ditawari KTA. Promosi utang tanpa jaminan ini lazimnya dilakukan melalui pesan singkat di telepon genggam, menelepon langsung, juga penawaran kepada pengunjung pusat perbelanjaan.
Penagih utang
Potensi pasar kartu kredit atau kredit konsumsi lainnya tentu akan semakin meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Tetapi, peningkatan itu bukan tanpa risiko bagi bank penyalur kredit. Risiko yang dihadapi berupa kredit macet atau bermasalah.
Sebagian kecil (22 persen) pemilik kartu kredit yang diwawancarai mengaku pernah menunggak atau alpa membayar tagihan kredit. Alasannya beragam, mulai dari lupa, tidak punya dana, hingga malas.
Untuk mengantisipasi hal itu, bank biasanya mengetatkan pengawasan terhadap pembayaran tagihan nasabah agar tidak melampaui batas jatuh tempo. Tak jarang bank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector).
Sekitar 20 persen pemilik kartu kredit atau keluarganya pernah dihubungi oleh penagih utang. Cara umum yang dilakukan oleh tukang tagih ini biasanya dengan menelepon dan mendatangi rumah responden atau keluarga responden.
Terkait keberadaan tukang tagih utang ini, lebih dari separuh responden yang mempunyai kartu kredit menekankan, peran penagih utang tidak diperlukan. Masyarakat berharap ada cara lain menegosiasikan utang yang macet selain harus berhadapan dengan tukang tagih yang disewa bank.
Pendapat ini terkait dengan peristiwa tewasnya seorang nasabah kartu kredit yang diduga akibat perlakuan penagih utang. Kekhawatiran di kalangan pengguna kartu kredit pun bermunculan. Dampaknya, meski tidak bertindak reaktif dengan segera menutup kartu kredit mereka, pemilik kartu kredit menyatakan akan lebih berhati-hati menggunakan kartu kredit dan melakukan pembayaran.
Meski demikian, responden menilai, peristiwa itu memberi kesan buruk terhadap wajah perbankan. Ditambah kasus pembobolan dana nasabah yang memperlihatkan lemahnya pengawasan internal bank terhadap dana nasabah.(RATNA SRI WIDYASTUTI/LITBANG KOMPAS)
No comments:
Post a Comment