Entrepreneur sukses yang satu ini menjalani jalan hidup yang  panjang dan berliku sebelum meraih sukses. Dia sempat menjadi supir  taksi hingga kuli bangunan yang hanya berpenghasilan Rp100.
Penampilannya  eksentrik. Bercelana pendek jins, kemeja lengan pendek yang ujung  lengannya tidak dijahit, dan kerap menyelipkan cangklong di mulutnya.  Ya, itulah sosok pengusaha ternama Bob Sadino, seorang entrepreneur  sukses yang merintis usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal  dari keluarga wirausaha. Siapa sangka, pendiri dan pemilik tunggal Kem  Chicks (supermarket) ini pernah menjadi sopir taksi dan kuli bangunan  dengan upah harian Rp100.
Celana pendek memang  menjadi "pakaian dinas" Om Bob --begitu dia biasa disapa-- dalam setiap  aktivitasnya. Pria kelahiran Lampung, 9 Maret 1933, yang mempunyai nama  asli Bambang Mustari Sadino, hampir tidak pernah melewatkan penampilan  ini. Baik ketika santai, mengisi seminar entrepreneur, maupun bertemu  pejabat pemerintah seperti presiden. Aneh, namun itulah Bob Sadino.
"Keanehan"  juga terlihat dari perjalanan hidupnya. Kemapanan yang diterimanya  pernah dianggap sebagai hal yang membosankan yang harus ditinggalkan.  Anak bungsu dari keluarga berkecukupan ini mungkin tidak akan menjadi  seorang entrepreneur yang menjadi rujukan semua orang seperti sekarang  jika dulu tidak memilih untuk menjadi "orang miskin".
Sewaktu  orangtuanya meninggal, Bob yang kala itu berusia 19 tahun mewarisi  seluruh hartake kayaan keluarganya karena semua saudara kandungnya kala  itu sudah dianggap hidup mapan. Bob kemudian menghabiskan sebagian  hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di  Belanda dan menetap selama kurang lebih sembilan tahun. Di sana, ia  bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam, Belanda, juga di Hamburg,  Jerman. Di Eropa ini dia bertemu Soelami Soejoed yang kemudian menjadi  istrinya.
Sebelumnya dia sempat bekerja di  Unilever Indonesia. Namun, hidup dengan tanpa tantangan baginya  merupakan hal yang membosankan. Ketika semua sudah pasti didapat dan  sumbernya ada menjadikannya tidak lagi menarik. "Dengan besaran gaji  waktu itu kerja di Eropa, ya enaklah kerja di sana. Siang kerja,  malamnya pesta dan dansa. Begitu-begitu saja, terus menikmati hidup,"  tulis Bob Sadino dalam bukunya Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila.
Pada  1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Kala itu dia membawa serta  dua mobil Mercedes miliknya. Satu mobil dijual untuk membeli sebidang  tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Setelah beberapa lama tinggal dan  hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena  ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri. Satu mobil Mercedes  yang tersisa dijadikan "senjata" pertama oleh Bob yang memilih menjalani  profesi sebagai sopir taksi gelap. Tetapi, kecelakaan membuatnya tidak  berdaya. Mobilnya hancur tanpa bisa diperbaiki.
Setelah  itu Bob beralih pekerjaan menjadi kuli bangunan. Gajinya ketika itu  hanya Rp100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang  dialaminya. Bob merasakan bagaimana pahitnya menghadapi hidup tanpa  memiliki uang. Untuk membeli beras saja dia kesulitan. Karena itu, dia  memilih untuk tidak merokok. Jika dia membeli rokok, besok keluarganya  tidak akan mampu membeli beras.
"Kalau kamu masih merokok, malam ini besok kita tidak bisa membeli beras," ucap istrinya memperingati.
Kondisi  tersebut ternyata diketahui teman-temannya di Eropa. Mereka prihatin.  Bagaimana Bob yang dulu hidup mapan dalam menikmati hidup harus terpuruk  dalam kemiskinan. Keprihatinan juga datang dari saudara-saudaranya.  Mereka menawarkan berbagai bantuan agar Bob bisa keluar dari keadaan  tersebut. Namun, Bob menolaknya.
Dia sempat  depresi, tetapi bukan berarti harus menyerah. Baginya, kondisi tersebut  adalah tantangan yang harus dihadapi. Menyerah berarti sebuah kegagalan.  "Mungkin waktu itu saya anggap tantangan. Ternyata ketika saya tidak  punya uang dan saya punya keluarga, saya bisa merasakan kekuatan sebagai  orang miskin. Itu tantangan, powerfull. Seperti magma yang sedang  bergejolak di dalam gunung berapi," papar Bob.
Jalan  terang mulai terbuka ketika seorang teman menyarankan Bob memelihara  dan berbisnis telur ayam negeri untuk melawan depresinya. Pada awal  berjualan, Bob bersama istrinya hanya menjual telur beberapa kilogram.  Akhirnya dia tertarik mengembangkan usaha peternakan ayam. Ketika itu,  di Indonesia, ayam kampung masih mendominasi pasar. Bob-lah yang pertama  kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya ke Indonesia. Bob  menjual telur-telurnya dari pintu ke pintu. Padahal saat itu telur ayam  negeri belum populer di Indonesia sehingga barang dagangannya tersebut  hanya dibeli ekspatriat-ekspatriat yang tinggal di daerah Kemang.
Ketika  bisnis telur ayam terus berkembang Bob melanjutkan usahanya dengan  berjualan daging ayam. Kini Bob mempunyai PT Kem Foods (pabrik sosis dan  daging). Bob juga kini memiliki usaha agrobisnis dengan sistem  hidroponik di bawah PT Kem Farms. Pergaulan Bob dengan ekspatriat  rupanya menjadi salah satu kunci sukses. Ekspatriat merupakan salah satu  konsumen inti dari supermarketnya, Kem Chick. Daerah Kemang pun kini  identik dengan Bob Sadino.
"Kalau saja saya  terima bantuan kakak-kakak saya waktu itu, mungkin saya tidak bisa  bicara seperti ini kepada Anda. Mungkin saja Kemstick tidak akan pernah  ada," ujar Bob.
Pengalaman hidup Bob yang  panjang dan berliku menjadikan dirinya sebagai salah satu ikon  entrepreneur Indonesia. Kemauan keras, tidak takut risiko, dan berani  menjadi miskin merupakan hal-hal yang tidak dipisahkan dari resepnya  dalam menjalani tantangan hidup. Menjadi seorang entrepreneur menurutnya  harus bersentuhan langsung dengan realitas, tidak hanya berteori.
Karena  itu, menurutnya, menjadi sarjana saja tidak cukup untuk melakukan  berbagai hal karena dunia akademik tanpa praktik hanya membuat orang  menjadi sekadar tahu dan belum beranjak pada taraf bisa. "Kita punya  ratusan ribu sarjana yang menghidupi dirinya sendiri saja tidak mampu,  apalagi menghidupi orang lain," jelas Bob.
Bob membuat rumusan kesuksesan dengan membagi dalam empat hal yaitu tahu, bisa, terampil, dan ahli.
"Tahu"  merupakan hal yang ada di dunia kampus, di sana banyak diajarkan  berbagai hal namun tidak menjamin mereka bisa. Sedangkan "bisa" ada di  dalam masyarakat. Mereka bisa melakukan sesuatu ketika terbiasa dengan  mencoba berbagai hal walaupun awalnya tidak bisa sama sekali. Sedangkan  "terampil" adalah perpaduan keduanya. Dalam hal ini orang bisa melakukan  hal dengan kesalahan yang sangat sedikit. Sementara "ahli" menurut Bob  tidak jauh berbeda dengan terampil. Namun, predikat "ahli" harus  mendapatkan pengakuan dari orang lain, tidak hanya klaim pribadi.
Ya, itulah resep Bob untuk menjadi sukses seperti sekarang.
No comments:
Post a Comment