Monday, May 2, 2011

Melirik Bisnis Air Bersih


 
Semakin merosotnya daya dukung lingkungan membuat pasokan air bersih makin berkurang. Saat ini, akses aman terhadap air minum secara nasional baru mencapai 47,63 persen. Dari angka tersebut baru sekitar 25,56 persen yang dilayani dengan sistem perpipaan. Artinya, peluang bisnis yang tersedia masih sangat besar.
Apalagi, pelayanan perpipaan sebagian besar masih diselenggarakan oleh perusahaan daerah air minum (PDAM), yang manajemennya payah. Bayangkan, dari 382 PDAM hanya 140 yang bisa mencatatkan keuntungan. Mereka juga belum bisa beroperasi 24 jam penuh. Tingkat kehilangan air juga tinggi, yakni 33 persen.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum, sebanyak 209 PDAM juga terlilit utang. Dengan kondisi seperti itu, harapan cerah sulit disandarkan ke pundak PDAM. Padahal, peluang yang tersedia cukup fantastis, yakni senilai Rp 34,6 triliun. Peluang tersebut dihitung berdasarkan target pembangunan milenium (millennium development goals/MDG’s) di mana tahun 2015 Indonesia harus menaikkan cakupan pelayanan air dengan sistem perpipaan dari 25,56 persen menjadi 45,72 persen.
Menurut perhitungan Kementerian Pekerjaan Umum, untuk merealisasikan target tersebut dibutuhkan tambahan 8,5 juta sambungan baru. Investasi total yang dibutuhkan sekitar Rp 46,6 triliun. Dari jumlah tersebut pemerintah hanya mampu menyediakan dana sekitar Rp 12 triliun. Sisanya Rp 34,6 triliun menjadi peluang investasi bagi kalangan swasta.
Sayangnya, minat kalangan swasta masih sangat rendah. Umumnya mereka berpendapat, bisnis air bersih tak terlalu prospektif karena pasokan air bersih masih dengan mudah didapatkan. Padahal, pasokannya terus berkurang. Jumlah penduduk yang terus bertambah juga membuat kebutuhan air bersih terus meningkat.
Ke depan, air akan menjadi potensi strategis yang diperebutkan banyak pihak. Pasalnya, proses fisika alami di bumi membuat suplai air menjadi langka. Saat ini gejala kelangkaan tersebut sudah terjadi dengan banyaknya kerusakan di daerah aliran sungai, perubahan iklim, dan meningkatnya polusi air akibat sampah dan penggundulan hutan. Realisasinya, investasi swasta bahkan belum menyentuh level Rp 1 triliun. Selain pandangan tak prospektif, mereka juga ragu karena berkaca dari kegagalan PDAM.
Di tingkat usaha kecil-menengah, kemunculan para pelaku usaha air bersih justru meningkat. Hal itu terlihat dari menjamurnya usaha air minum isi ulang di pelosok-pelosok desa. Usaha mereka tumbuh subur karena tingginya permintaan masyarakat. Semangat itu kontras dengan para pengusaha kelas kakap, yang justru melempem.
Indonesia seharusnya banyak belajar dari Singapura. Negara yang dikelilingi laut tersebut mengimpor 40 persen kebutuhan air bersihnya. Selain mengimpor, kebutuhan air bersih Singapura diperoleh dari reservoir dan daerah tangkapan air lainnya sebesar 20 persen, penyulingan air laut 10 persen, dan pengolahan air terpakai 30 persen. Salah satu proyek mereka yang spektakuler adalah Marina Barrage, yakni sebuah bendungan raksasa sebagai penampungan air. Bendungan tersebut telah menjadi pusat atraksi publik karena dirancang dengan sedemikian menarik.
Kondisi itu berbeda dengan Indonesia. Di Jakarta, misalnya, ada 13 sungai dengan air melimpah. Sayangnya, sungai-sungai tersebut justru menjadi tong sampah. Cadangan air tanah dan danau juga habis disedot untuk keperluan rumah tangga dan industri. Air hujan yang seharusnya bisa ditampung dan diolah justru dibuang percuma menjadi banjir.
Fakta-fakta tersebut seharusnya menjadi pertimbangan untuk menggairahkan bisnis pengolahan air bersih. Tanpa ada pengolahan, bisa-bisa kita menjadi pengimpor air bersih di kemudian hari. Tragis.... (Eny Prihtiyani)

No comments:

Post a Comment