Kabar akan segera pensiunnya Steve Jobs mulai memperlihatkan tanda-tanda nyata. Sudah bukan rahasia lagi, Jobs bermasalah dengan kesehatannya dan bisa kapan saja meninggalkan Apple. Beberapa hari yang lalu, Jobs terlihat kembali ke markas Apple dengan kondisi yang hampir sama, kurus dan belum terlihat sehat seperti sedia kala.
Hal ini tentu makin mengkhawatirkan Apple dan jajaran direkturnya. Jobs adalah sumber inspirasi produk, padangan dan inovasi serta kepemimpinannya menjadi kunci keberhasilan Apple dua dekade terakhir. iPod, iPhone 1 sampai 4 dan iPad 1 dan 2 adalah produk yang perusahaan lain tidak akan bisa menyamainya. Android butuh ratusan produk untuk bisa mengalahkan iPhone, sedangkan Apple hanya butuh satu produk saja untuk bisa bertahan di posisi tiga sebagai smartphone paling banyak penjualannya di dunia.
Banyak yang khawatir, setelah Jobs pensiun, Apple akan kehilangan inovasi seperti yang pernah terjadi pada Microsoft setelah ditinggalkan Bill Gates. Steve Ballmer yang menjadi penerus Gates, memang berhasil membuat Microsoft bertahan, namun ia bukanlah pemimpin yang memiliki visi seperti Gates, ia adalah manajer yang efektif.
Buktinya Microsoft mengalami stagnasi inovasi, harga saham tak pernah naik, bahkan terakhir mengalami penurunan. Pencapaian Microsoft sebagai perusahaan dengan nilai tertinggi di pasar juga sudah dikalahkan oleh Apple. Kini walau hanya memiliki produk yang dapat dihitung dengan jari, namun Apple berhasil menjadi perusahaan paling menguntungkan di dunia.
Universitas Apple
Nah, tentu saja kondisi ini bisa saja terjadi di Apple setelah Jobs pensiun. Untuk mengantisipasi hal ini, Apple telah ancang-ancang mendirikan Apple University. Dilaporkan oleh Businessinsider, untuk mengantisipasi pensiunnya Steve Jobs, Apple berencana mendirikan universitas Apple. Universitas ini mungkin bukan dalam bentuk universitas yang sebenarnya, namun sebuah usaha menginternalisasi gaya manajemen dan filsafat Apple sehingga bertahan bahkan setelah Steve Jobs sudah tidak ada lagi di Apple.
Untuk tujuan ini Apple telah menyewa beberapa orang yang dipandang berpengalaman dan memiliki keahlian khusus antara lain Joel Podolny, mantan dekan dari sekolah manajemen Yale dan mantan profesor Harvard Richard Tedlow, serta profesor lainnya.
Kegiatan para profesor ini adalah menulis studi kasus tentang keputusan perusahaan besar, yang kemudian digunakan dalam kelas yang diajarkan oleh eksekutif Apple. Studi kasus profesor ini antara lain topik seperti mengapa Apple memutuskan untuk fokus pada satu pabrik di China untuk pembuatan iPhone dan keputusan untuk membangun toko-toko ritel Apple. Kursus-kursus pada topik tersebut diajarkan oleh eksekutif puncak Apple, seperti Tim Cook dan Ron Johnson.
Dengan melakukan hal ini para eksekutif Apple paling tidak dapat memahami keputusan-keputusan yang telah diambil oleh Steve Jobs dan mencoba belajar dari hal tersebut. Nantinya para eksekutif Apple akan tahu rahasia pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Jobs dan bagaimana melaksanakan keputusan tersebut dengan gaya Jobs tentunya.
Namun demikian, tentu hal ini masih bisa diperdebatkan. Kebanyakan eksekutif puncak atau CEO memiliki visi dan intuisi yang tajam dibandingkan manajer biasa. Hal ini karena pengalaman dan keterampilan tertentu yang hanya dimiliki oleh CEO tersebut. Nah dengan mengajarkan apa yang Steve Jobs lakukan, tentu belum bisa dijamin mereka yang ikut kursus dalam universitas Apple tersebut akan mengikuti semua garis yang pernah ditempuh oleh Jobs, karena mereka manusia bukan mesin.
Target minimal bagi mereka yang masuk universitas Apple ini nantinya adalah jejak Steve Jobs akan terus mengakar di dalam jajaran manajemen yang ditinggalkannya, sedangkan berharap CEO Apple yang baru nantinya akan sama dengan Jobs tentu sangat tidak mungkin.(Kompasiana/Kimi Raikko)
No comments:
Post a Comment