Wednesday, January 4, 2012

Presiden Harus Dorong Lembaga Riset Memproduksi Mobil

Terobosan Wali Kota Solo Joko Widodo menggunakan mobil rakitan siswa sekolah menengah kejuruan sebagai mobil dinas seharusnya menjadi langkah awal bagi pemerintah untuk bangkit dan membangun nasionalisme dalam industri otomotif. Maka dari itu, sudah saatnya Presiden mendorong lembaga-lembaga riset dan universitas untuk menciptakan mobil dalam negeri.

"Jangankan membuat mobil, pesawat terbang saja putra Indonesia sanggup. Kalau siswa SMK saja mampu merakit mobil, saya yakin mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya tentu lebih canggih lagi mestinya," ujar Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (4/1/2012) di Semarang.

Langkah ini seharusnya bisa dilakukan kalau universitas dan lembaga-lembaga riset yang dibiayai menjadi andalan pengembangan industri dalam negeri. Dibandingkan Malaysia dan Jepang, Indonesia seharusnya bisa memproduksi mobil dalam negeri karena jumlah penduduknya lebih besar.
Pertanyaannya, mengapa semua itu tak terwujud? Jangan-jangan kelemahannya terletak pada manajemen birokrasinya, atau penentu kebijakan di negeri ini telah dijajah oleh industri dan kapitalis asing?
"Kalau itu yang terjadi, yang menonjol dan berkuasa adalah dealership nasional, bukannya leadership nasional," ujar Komaruddin.
Ia menegaskan, masalahnya sebenarnya pada pengambil kebijakan. Komaruddin bahkan menduga ada orang-orang yang menikmati keuntungan, yang selama ini terganggu kalau industri mobil dalam negeri bangkit.
Di negara-negara pusat industri otomotif, kereta api justru menjadi andalan dan kebanggaan. Sementara itu, Indonesia justru bangga sebagai konsumen produk mobil impor, dan tidak membangun transportasi umum berupa kereta api dan bus yang aman dan nyaman.
"Warga Jakarta, khususnya, ramai-ramai pamer mobil, sekaligus pamer kebodohan dalam pengaturan lalu lintas, dan pamer pemborosan bahan bakar, sambil berkeluh kesah dan makan subsidi APBN yang mendekati Rp 300 triliun? Sampai kapan ini akan berlangsung?" papar Komaruddin.
Kompas

No comments:

Post a Comment