Sri Wahono selalu teguh pada impiannya. Nyatanya, mimpinya untuk
menjadi pengusaha benar-benar terwujud. Keluar dari PNS, Wahono
merintis usaha pembuatan software bisnis. Kini ia membukukan omzet miliaran rupiah dengan ribuan klien.
Saat menyebut Lampung, mungkin di benak Anda tebersit gajah Way Kambas atau keripik pisang yang menjadi oleh-oleh khas daerah itu. Sebagai pria yang lahir dan besar di Lampung, Sri Wahono pun merasakan betul hal tersebut. Namun, ia juga ingin menunjukkan potensi Lampung lainnya, yakni sebagai penghasil peranti lunak (software) komputer yang mendunia.
Dengan mengibarkan bendera Aztechsoft Internasional, ia menciptakan berbagai software bisnis. Ia membuat program penggajian, pembayaran kasir, hingga pencatatan data ekspor impor yang telah dipakai oleh 1.587 perusahaan.
Tak ingin menikmati kesuksesan sendiri, Wahono pun mendorong orang lain untuk menjadi wirausahawan baru. Ia mengundang orang untuk menjadi agen pemasar produknya. Sekarang 23 diler yang tersebar di seluruh Indonesia mendistribusikan produknya. Dari sini, Wahono bisa mendulang omzet Rp 2,2 miliar per tahun.
Pemuda 32 tahun ini bukan berasal dari keluarga yang melek teknologi. Orang tuanya adalah petani transmigran sederhana. Bahkan, profesi Wahono saat ini berbeda jauh dengan harapan orang tua yang menginginkannya menjadi ustad. Tak heran, dia menempuh pendidikan di sekolah agama.
Setelah lulus tes masuk Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung, jalan hidupnya berubah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja di persewaan komputer milik teman. Di tempat inilah, ide untuk berbisnis software muncul, hingga ia mendapatkan proyek dari sebuah bank perkreditan rakyat dan Telkom di Lampung. Lantaran lebih asyik menjalani dunia programming, Wahono pun menanggalkan status mahasiswanya.
Pilihan menikah di usia muda menghadapkannya pada kenyataan bahwa ia harus menghidupi istri. Akhirnya, saat memasuki milenium baru, ia memutuskan membuka toko kelontong bermodal Rp 1 juta. Di sela waktunya, Wahono pun menjadi desainer freelance surat kabar dan tabloid lokal.
Tapi, ambisi lama berbisnis peranti lunak tak terbendung lagi. Beruntung, sang istri, Nunik Palupi, mendukung penuh mimpinya membuat software house. Nunik rela menjual perhiasan sebagai modal mendirikan CV Aztech pada 2001.
Keluar PNS
Selayaknya hukum alam, usaha dengan modal minim sering kalah bersaing dengan perusahaan bermodal lebih besar. Itu pula yang dialami CV Aztech. Penjualan software sepi karena hanya sedikit klien yang kenal atau percaya dengan software karya Wahono ini.
Oleh karena itu, selain mengelola bisnis sendiri, Wahono juga melakoni pekerjaan di beberapa perusahaan secara berpindah-pindah. Pada 2004 ia diterima menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pendapatan Daerah Lampung. Sayang, jiwa wirausaha yang terus bergejolak tak membuatnya betah. Hanya dua minggu Wahono menyandang status PNS.
Nekat melepas status PNS, Wahono mulai serius menghidupi Aztechsoft. Dia menyemangati diri agar bisnis software-nya sukses. “Malu kalau berani keluar dari PNS tapi bisnis gagal,” kata Wahono, terkekeh.
Karena itu, ia merekrut beberapa karyawan untuk memperkuat amunisi perusahaannya. Ia pun fokus menggarap software akuntansi untuk perusahaan dagang. Dengan nama program Acosys, Wahono menyebarkan program ini ke beberapa perusahaan sebagai uji coba. Maklum, saat itu ada perusahaan software asal Jakarta yang mendominasi pasar peranti lunak di Lampung. Perusahaan-perusahaan besar pun menjadi klien mereka.
Alhasil, Wahono yang hanya berkantor di kompleks terpencil harus cerdik menyusun strategi tanpa berpromosi. “Kalaupun pasang iklan, nanti calon klien malah kesulitan cari kantornya di mana,” tuturnya.
Bersama karyawannya, Wahono menempuh strategi gerilya. Menawarkan peranti lunak dari kantor ke kantor, tanpa terdeteksi kompetitor yang lebih besar. Ia membidik perusahaan-perusahaan kecil yang berkantor di sekitar kantor perusahaan besar yang menjadi klien kompetitor. Dengan strategi ini ia berharap perusahaan besar mendengar Acosys dari lingkungan sekeliling. Wahono juga mengutamakan layanan after sales service sebagai nilai lebih.
Tiga tahun kemudian, sebagian perusahaan besar yang dia incar benar-benar tertarik dan berpindah menggunakan Acosys. Hingga tahun 2007, Aztechsoft sudah memiliki sekitar 300 klien. Wahono pun bisa membeli ruko sebagai kantor dan berani memasang iklan secara terang-terangan.
Kini software Acosys sudah mencapai versi keempat. Wahono juga merambah pasar internasional. Ia sengaja membuat program dengan bahasa dan mata uang asing, seperti Jerman, Rusia, dan Timur Tengah. Respons positif dia terima dari beberapa perusahaan yang sudah mencobanya. Satu lagi bukti bahwa kegigihan membawa berkah. Sumber;(Tendi Mahadi/Kontan)
Saat menyebut Lampung, mungkin di benak Anda tebersit gajah Way Kambas atau keripik pisang yang menjadi oleh-oleh khas daerah itu. Sebagai pria yang lahir dan besar di Lampung, Sri Wahono pun merasakan betul hal tersebut. Namun, ia juga ingin menunjukkan potensi Lampung lainnya, yakni sebagai penghasil peranti lunak (software) komputer yang mendunia.
Dengan mengibarkan bendera Aztechsoft Internasional, ia menciptakan berbagai software bisnis. Ia membuat program penggajian, pembayaran kasir, hingga pencatatan data ekspor impor yang telah dipakai oleh 1.587 perusahaan.
Tak ingin menikmati kesuksesan sendiri, Wahono pun mendorong orang lain untuk menjadi wirausahawan baru. Ia mengundang orang untuk menjadi agen pemasar produknya. Sekarang 23 diler yang tersebar di seluruh Indonesia mendistribusikan produknya. Dari sini, Wahono bisa mendulang omzet Rp 2,2 miliar per tahun.
Pemuda 32 tahun ini bukan berasal dari keluarga yang melek teknologi. Orang tuanya adalah petani transmigran sederhana. Bahkan, profesi Wahono saat ini berbeda jauh dengan harapan orang tua yang menginginkannya menjadi ustad. Tak heran, dia menempuh pendidikan di sekolah agama.
Setelah lulus tes masuk Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung, jalan hidupnya berubah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja di persewaan komputer milik teman. Di tempat inilah, ide untuk berbisnis software muncul, hingga ia mendapatkan proyek dari sebuah bank perkreditan rakyat dan Telkom di Lampung. Lantaran lebih asyik menjalani dunia programming, Wahono pun menanggalkan status mahasiswanya.
Pilihan menikah di usia muda menghadapkannya pada kenyataan bahwa ia harus menghidupi istri. Akhirnya, saat memasuki milenium baru, ia memutuskan membuka toko kelontong bermodal Rp 1 juta. Di sela waktunya, Wahono pun menjadi desainer freelance surat kabar dan tabloid lokal.
Tapi, ambisi lama berbisnis peranti lunak tak terbendung lagi. Beruntung, sang istri, Nunik Palupi, mendukung penuh mimpinya membuat software house. Nunik rela menjual perhiasan sebagai modal mendirikan CV Aztech pada 2001.
Keluar PNS
Selayaknya hukum alam, usaha dengan modal minim sering kalah bersaing dengan perusahaan bermodal lebih besar. Itu pula yang dialami CV Aztech. Penjualan software sepi karena hanya sedikit klien yang kenal atau percaya dengan software karya Wahono ini.
Oleh karena itu, selain mengelola bisnis sendiri, Wahono juga melakoni pekerjaan di beberapa perusahaan secara berpindah-pindah. Pada 2004 ia diterima menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pendapatan Daerah Lampung. Sayang, jiwa wirausaha yang terus bergejolak tak membuatnya betah. Hanya dua minggu Wahono menyandang status PNS.
Nekat melepas status PNS, Wahono mulai serius menghidupi Aztechsoft. Dia menyemangati diri agar bisnis software-nya sukses. “Malu kalau berani keluar dari PNS tapi bisnis gagal,” kata Wahono, terkekeh.
Karena itu, ia merekrut beberapa karyawan untuk memperkuat amunisi perusahaannya. Ia pun fokus menggarap software akuntansi untuk perusahaan dagang. Dengan nama program Acosys, Wahono menyebarkan program ini ke beberapa perusahaan sebagai uji coba. Maklum, saat itu ada perusahaan software asal Jakarta yang mendominasi pasar peranti lunak di Lampung. Perusahaan-perusahaan besar pun menjadi klien mereka.
Alhasil, Wahono yang hanya berkantor di kompleks terpencil harus cerdik menyusun strategi tanpa berpromosi. “Kalaupun pasang iklan, nanti calon klien malah kesulitan cari kantornya di mana,” tuturnya.
Bersama karyawannya, Wahono menempuh strategi gerilya. Menawarkan peranti lunak dari kantor ke kantor, tanpa terdeteksi kompetitor yang lebih besar. Ia membidik perusahaan-perusahaan kecil yang berkantor di sekitar kantor perusahaan besar yang menjadi klien kompetitor. Dengan strategi ini ia berharap perusahaan besar mendengar Acosys dari lingkungan sekeliling. Wahono juga mengutamakan layanan after sales service sebagai nilai lebih.
Tiga tahun kemudian, sebagian perusahaan besar yang dia incar benar-benar tertarik dan berpindah menggunakan Acosys. Hingga tahun 2007, Aztechsoft sudah memiliki sekitar 300 klien. Wahono pun bisa membeli ruko sebagai kantor dan berani memasang iklan secara terang-terangan.
Kini software Acosys sudah mencapai versi keempat. Wahono juga merambah pasar internasional. Ia sengaja membuat program dengan bahasa dan mata uang asing, seperti Jerman, Rusia, dan Timur Tengah. Respons positif dia terima dari beberapa perusahaan yang sudah mencobanya. Satu lagi bukti bahwa kegigihan membawa berkah. Sumber;(Tendi Mahadi/Kontan)
No comments:
Post a Comment