Ibu dari tiga orang anak, Yani Andriani, mengalami kerepotan dalam
mengurus ketiga anaknya, di mana salah satu anaknya masih berusia balita
yang masih butuh ASI eksklusif. Dengan produk gendongan yang ada di
pasar selama ini, Yani merasa kurang fleksibel untuk bergerak. "Idenya
dari pengalaman pribadi pas (punya) anak ketiga kerepotan sama
anak-anak. Agak repot ngurus tiga anak. Sekaligus terinspirasi bagaimana
caranya ASI eksklusif terpenuhi," kata Yani kepada Kompas.com, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bersama dengan sejumlah temannya, Yani pun memodifikasi beberapa gendongan. Dari gendongan-gendongan tersebut muncullah ide untuk membuat gendongan yang elastis bisa mengikuti bentuk badan bayi. Tidak hanya itu, ia pun membuat gendongan yang ergonomis. Jadi, gendongan ini bisa punya delapan posisi. "Nggak pegel, nyaman, bisa tetap beraktivitas di luar (rumah)," kata dia mengenai gendongan modern ini. Ini karena gendongan ini terbuat dari katun spandeks sehingga elastis dan cocok untuk bayi prematur hingga balita.
Dalam membuat gendongan ini, ia pun terbantu dengan ilmunya ketika kuliah di Universitas Bandung Raya jurusan kimia tekstil. "Jadi pemilihan bahan mengambil dari ilmu sewaktu kuliah," ucapnya yang memulai usaha dari tahun 2009.
Untuk memperoleh bahan pun ia tidak mengalami kesulitan. Karena sudah punya koneksi yakni teman-teman kuliahnya. Disebutkannya, ada teman yang bekerja di pabrik tekstil sehingga ia tidak ada kesulitan dengan bahan. Sebagai modal produksi awal, ia mengeluarkan Rp 12 juta dari hasil terakhir bekerja di pekerjaan sebelumnya.
Hasil produksi pertama 15 buah gendongan. Sekarang bisa sampai 150 buah. Ini merupakan jumlah pesanan secara online. Pesanan secara online ini pun tidak tanggung-tanggung yakni bisa sampai Papua. "BEP (langsung di) bulan pertama," sebut Yani yang balik modal langsung setelah satu bulan berproduksi.
Jualannya itu ia hargai Rp 155.000 per buahnya. Produknya ini tidak hanya dipasarkan secara online, ada yang dititipkan ke toko bayi dan pemasaran sendiri ke teman-temannya. Bahkan, katanya, sudah mulai ada yang berniat membuat agen reseller (jual kembali) secara online. Alhasil produknya kini telah tersebar di toko-toko di Jakarta, Malang, Jogyakarta, dan Palangkaraya. Tapi, kata dia, distributor untuk wilayah timur Indonesia belum ada.
Karena sifatnya masih industri rumahan maka kapasitas produksinya pun masih 350 buah setiap bulan. Itu jumlah pesanan baik untuk offline dan online. Tapi kebanyakan untuk dijual di toko (offline). "Jadi sebulan segitu. Belum begitu banyak," sebut Yani.
Ia pun optimistis usaha yang meraih penghargaan di ajang Wirausaha Muda Mandiri 2011 untuk kelompok alumni dan pascasarjana ini akan terus berkembang. Bahkan ia menargetkan produksi sebanyak 1.000 buah gendongan untuk tahun ini. Bukan hanya semata untuk mencari keuntungan saja.
Tapi Yani juga ingin mensosialisasikan program memberikan ASI eksklusif untuk bayi. Karena dengan produk ini, kata dia, ibu bisa memberikan ASI sampai 2 tahun. "Bagaimana kenyamanan dan keamanan bayi dengan program ASI eksklusif (bisa diberikan dengan gendongan ini)," tuturnya. "Kita tidak disini tidak mengambil profit yang besar. Karena harga kan tergantung harga katun. Kita pakai katun lokal," pungkasnya yang kini mempunyai karyawan sebanyak delapan orang. Sumber; Kompas.com
Bersama dengan sejumlah temannya, Yani pun memodifikasi beberapa gendongan. Dari gendongan-gendongan tersebut muncullah ide untuk membuat gendongan yang elastis bisa mengikuti bentuk badan bayi. Tidak hanya itu, ia pun membuat gendongan yang ergonomis. Jadi, gendongan ini bisa punya delapan posisi. "Nggak pegel, nyaman, bisa tetap beraktivitas di luar (rumah)," kata dia mengenai gendongan modern ini. Ini karena gendongan ini terbuat dari katun spandeks sehingga elastis dan cocok untuk bayi prematur hingga balita.
Dalam membuat gendongan ini, ia pun terbantu dengan ilmunya ketika kuliah di Universitas Bandung Raya jurusan kimia tekstil. "Jadi pemilihan bahan mengambil dari ilmu sewaktu kuliah," ucapnya yang memulai usaha dari tahun 2009.
Untuk memperoleh bahan pun ia tidak mengalami kesulitan. Karena sudah punya koneksi yakni teman-teman kuliahnya. Disebutkannya, ada teman yang bekerja di pabrik tekstil sehingga ia tidak ada kesulitan dengan bahan. Sebagai modal produksi awal, ia mengeluarkan Rp 12 juta dari hasil terakhir bekerja di pekerjaan sebelumnya.
Hasil produksi pertama 15 buah gendongan. Sekarang bisa sampai 150 buah. Ini merupakan jumlah pesanan secara online. Pesanan secara online ini pun tidak tanggung-tanggung yakni bisa sampai Papua. "BEP (langsung di) bulan pertama," sebut Yani yang balik modal langsung setelah satu bulan berproduksi.
Jualannya itu ia hargai Rp 155.000 per buahnya. Produknya ini tidak hanya dipasarkan secara online, ada yang dititipkan ke toko bayi dan pemasaran sendiri ke teman-temannya. Bahkan, katanya, sudah mulai ada yang berniat membuat agen reseller (jual kembali) secara online. Alhasil produknya kini telah tersebar di toko-toko di Jakarta, Malang, Jogyakarta, dan Palangkaraya. Tapi, kata dia, distributor untuk wilayah timur Indonesia belum ada.
Karena sifatnya masih industri rumahan maka kapasitas produksinya pun masih 350 buah setiap bulan. Itu jumlah pesanan baik untuk offline dan online. Tapi kebanyakan untuk dijual di toko (offline). "Jadi sebulan segitu. Belum begitu banyak," sebut Yani.
Ia pun optimistis usaha yang meraih penghargaan di ajang Wirausaha Muda Mandiri 2011 untuk kelompok alumni dan pascasarjana ini akan terus berkembang. Bahkan ia menargetkan produksi sebanyak 1.000 buah gendongan untuk tahun ini. Bukan hanya semata untuk mencari keuntungan saja.
Tapi Yani juga ingin mensosialisasikan program memberikan ASI eksklusif untuk bayi. Karena dengan produk ini, kata dia, ibu bisa memberikan ASI sampai 2 tahun. "Bagaimana kenyamanan dan keamanan bayi dengan program ASI eksklusif (bisa diberikan dengan gendongan ini)," tuturnya. "Kita tidak disini tidak mengambil profit yang besar. Karena harga kan tergantung harga katun. Kita pakai katun lokal," pungkasnya yang kini mempunyai karyawan sebanyak delapan orang. Sumber; Kompas.com
No comments:
Post a Comment