Sejumlah 525 lele jumbo ilegal asal Malaysia dimusnahkan. Ratusan lele ilegal yang masuk melalui Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, itu terdeteksi mengandung penyakit berbahaya.
Pemusnahan dilakukan oleh Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan di Entikong, Kamis (17/3/2011). Lele ilegal berupa induk, calon induk, maupun ikan konsumsi itu dimusnahkan dengan cara dibakar.
Lele impor tersebut dinyatakan ilegal karena tidak memenuhi sejumlah persyaratan karantina. Persyaratan itu meliputi sertifikat kesehatan ikan dari negara asal, dilaporkan ke petugas karantina, serta izin pemasukan dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Dari hasil pemeriksaan sampel, lele dalam kondisi hidup itu juga terjangkit penyakit berbahaya berupa bakteri Edwardsiella tarda.
Kepala BKIPM Syamsul Ma’arif mengemukakan, lele ilegal itu masuk secara bertahap, yakni tanggal 14 Februari, 25 Februari, dan 13 Maret. Impor lele ditengarai masih marak, mulai dari induk sampai ikan konsumsi. Pemicu utamanya adalah harga lele lokal yang mahal dan sulit didapat.
Adapun harga lele dari Malaysia berkisar Rp 8.000 per kilogram-Rp 15.000 per kilogram, sedangkan harga lele di Kalimantan Barat mencapai Rp 20.000-Rp 25.000 per ekor. Disparitas harga yang tinggi memicu produk lele Malaysia mengalir, baik untuk konsumsi maupun indukan untuk dibenihkan. ”Celakanya, produk impor ikan rentan mengandung bibit penyakit,” ujar Syamsul.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Gatot Rudiyono menuturkan, kebutuhan konsumsi ikan lele di Kalimantan Barat terus meningkat, terutama dengan semakin digemarinya masakan pecel lele. Sementara itu, produksi masih jauh dari optimal karena minimnya ketersediaan indukan dan benih.
Tahun 2011, produksi lele di Kalimantan Barat ditargetkan sebesar 35.000 ton sehingga dibutuhkan benih sebanyak 50 juta ekor. Namun, kapasitas benih yang tersedia baru 10 juta ekor. Untuk menggenjot produksi, pihaknya mendorong balai-balai perikanan dan usaha pembenihan rakyat. (LKT)
Pemusnahan dilakukan oleh Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan di Entikong, Kamis (17/3/2011). Lele ilegal berupa induk, calon induk, maupun ikan konsumsi itu dimusnahkan dengan cara dibakar.
Lele impor tersebut dinyatakan ilegal karena tidak memenuhi sejumlah persyaratan karantina. Persyaratan itu meliputi sertifikat kesehatan ikan dari negara asal, dilaporkan ke petugas karantina, serta izin pemasukan dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Dari hasil pemeriksaan sampel, lele dalam kondisi hidup itu juga terjangkit penyakit berbahaya berupa bakteri Edwardsiella tarda.
Kepala BKIPM Syamsul Ma’arif mengemukakan, lele ilegal itu masuk secara bertahap, yakni tanggal 14 Februari, 25 Februari, dan 13 Maret. Impor lele ditengarai masih marak, mulai dari induk sampai ikan konsumsi. Pemicu utamanya adalah harga lele lokal yang mahal dan sulit didapat.
Adapun harga lele dari Malaysia berkisar Rp 8.000 per kilogram-Rp 15.000 per kilogram, sedangkan harga lele di Kalimantan Barat mencapai Rp 20.000-Rp 25.000 per ekor. Disparitas harga yang tinggi memicu produk lele Malaysia mengalir, baik untuk konsumsi maupun indukan untuk dibenihkan. ”Celakanya, produk impor ikan rentan mengandung bibit penyakit,” ujar Syamsul.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Gatot Rudiyono menuturkan, kebutuhan konsumsi ikan lele di Kalimantan Barat terus meningkat, terutama dengan semakin digemarinya masakan pecel lele. Sementara itu, produksi masih jauh dari optimal karena minimnya ketersediaan indukan dan benih.
Tahun 2011, produksi lele di Kalimantan Barat ditargetkan sebesar 35.000 ton sehingga dibutuhkan benih sebanyak 50 juta ekor. Namun, kapasitas benih yang tersedia baru 10 juta ekor. Untuk menggenjot produksi, pihaknya mendorong balai-balai perikanan dan usaha pembenihan rakyat. (LKT)
Sumber :
Kompas Cetak
No comments:
Post a Comment