Bosan menjadi penjual mobil, Tommy Sutomo bertekad membuka bisnis sendiri. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya ia mantap menggeluti bisnis komoditas. Kini ia rutin memasok rempah-rempah ke berbagai perusahaan di dalam negeri.
Kesuksesan akan datang ketika orang berusaha keras dan pantang menyerah. Tommy Sutomo, pemilik PT Semesta Alam Petro, kenyang dengan pengalaman jatuh-bangun membangun bisnis. Namun, setiap kali gagal ia berhasil bangkit. Kini, ia bisa menikmati buah dari semua usaha kerasnya itu.
Saat ini, Tommy, sarjana sastra lulusan Universitas Diponegoro, sukses menjadi pemasok pelbagai produk rempah ke sejumlah perusahaan obat dan makanan minuman. PT Sido Muncul, Grup Orang Tua, dan Grup Mustika Ratu secara rutin membeli rempah dari Tommy. Ia juga mengekspor ke beberapa negara. Dengan jangkauan pasar seluas itu, omzet usahanya mencapai Rp 500 juta per bulan.
Untuk meraih sukses seperti sekarang, Tommy harus berjuang. Sejak kecil, sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara, ia sudah terbiasa hidup prihatin. Maklum, gaji ayah ibunya sebagai pegawai negeri sipil di Blora, Jawa Tengah, selalu habis untuk biaya sekolah anak-anak. Orangtuanya bertekad menyekolahkan semua anaknya sampai meraih gelar sarjana.
Alhasil, Tommy kecil hidup pas-pasan. Ia dan saudaranya hanya memiliki sepasang seragam dan sepatu sekolah. Mereka terbiasa makan tiwul lantaran tak ada cukup duit buat membeli beras. Lauk pauk yang paling istimewa adalah telur ceplok yang dibagi empat.
Meski tergolong anak nakal, Tommy kecil cukup pintar. Ia selalu meraih peringkat pertama saat di sekolah dasar. Ia juga mulus masuk ke SMP dan SMA. Selulus SMA, Tommy berhasil masuk universitas negeri lantaran prestasi belajarnya.
Nah, sembari kuliah di Semarang, pria yang baru saja berulang tahun pada 11 Maret lalu ini rajin mencari tambahan uang saku dengan berjualan gorengan. “Saya membeli sendiri tahu dan pisang ke pasar, membuat bumbu, dan jualan gorengan di dekat kampus,” kenang Tommy. Ia juga melayani order terjemahan ke bahasa Inggris dan membantu pembuatan skripsi.
Meski telah menjalani rupa-rupa kerja sejak kuliah, Tommy baru menggeluti pekerjaan sesungguhnya selepas lulus kuliah tahun 1990. Ia mendapat kesempatan bekerja sebagai tenaga penjual Grup Astra International. Targetnya adalah menjual mobil Daihatsu sebanyak-banyaknya. “Orang miskin dari kampung kok disuruh jualan mobil,” kenangnya sambil tergelak.
Bosan jadi pegawai
Toh, Tommy tak menyerah. Bahkan, ia berhasil menjaring pesanan 50 mobil dari institusi pemerintah. Berkat keuletannya, ia hanya butuh lima tahun untuk menjadi supervisor. Tak lama berselang, ia ditunjuk menjadi kepala cabang Astra International di Yogyakarta.
Bosan menjadi bawahan orang, setelah 12 tahun berjualan mobil, pada 2003 Tommy mengundurkan diri dan membuka usaha jual-beli mobil sendiri. Tapi, belum sempat mendapat untung, ia sudah tertipu dan kehilangan puluhan juta rupiah.
Tommy lantas beralih ke bisnis tanaman hias. Saat itu, anturium sedang booming. Dengan modal sekitar Rp 1 juta, ia membeli 1.000 anakan gelombang cinta. Ia lantas menjual tanaman itu seharga Rp 5.000 hingga Rp 50.000 per unit. Dari bisnis ini, ia untung besar.
Tommy pun memantapkan usahanya ke sektor agribisnis. Ia kepincut menggarap usaha jarak pagar untuk biodiesel. Tapi, lantaran belum berpengalaman, usahanya gagal dan ia merugi hingga Rp 400 juta. Ia terpaksa menjual rumahnya untuk menutupi kerugian.
Beruntung, sang kakak yang bekerja di Telkom menawari posisi staf pengajar di PT Telkom, Bandung. Ia mengajar para pensiunan dini Telkom mengelola uang dan menjadi pengusaha selama enam bulan.
Sambil mengajar, pada 2007 Tommy mulai berbisnis teh bunga rosela. Ia memodali petani di Semarang untuk menanam bunga ini dan menjualnya lewat internet. “Kualitas hasil panen saya lebih bagus dan permintaan ekspor terus bertambah,” ungkapnya.
Tapi, Tommy sempat merugi lagi saat berbisnis markisa. Lantaran mendapat pesanan dari pembeli di Amerika Serikat, ia menyiapkan lahan dan menanam markisa. Saat sudah dipanen dan siap dikirim, pembeli membatalkan kontrak. “Saya merugi Rp 200 juta,” ujarnya. Ia terpaksa mengirim sisa markisa yang belum busuk ke Makassar untuk dijadikan sirop.
Tommy lantas menanami lahan bekas markisa dengan jahe dan rempah-rempah untuk melayani pesanan dari Eropa dan industri dalam negeri. Total, per bulan ia bisa menjual sekitar 1.000 ton. Selain dari kebun sendiri, ia juga memberdayakan para petani di Temanggung, Pekalongan, Blora, dan Yogyakarta. Total luas lahannya sekitar 700 hektar.
Kini, selain lahan khusus untuk jahe dan rempah-rempah, Tommy juga memiliki 6.000 meter persegi lahan ditanami kelapa. Hasilnya berupa kopra ia kirim ke Surabaya. Tiap bulan, ia bisa memasok hingga 20 ton kopra. (Diade Riva Nugrahani/Kontan)
Kesuksesan akan datang ketika orang berusaha keras dan pantang menyerah. Tommy Sutomo, pemilik PT Semesta Alam Petro, kenyang dengan pengalaman jatuh-bangun membangun bisnis. Namun, setiap kali gagal ia berhasil bangkit. Kini, ia bisa menikmati buah dari semua usaha kerasnya itu.
Saat ini, Tommy, sarjana sastra lulusan Universitas Diponegoro, sukses menjadi pemasok pelbagai produk rempah ke sejumlah perusahaan obat dan makanan minuman. PT Sido Muncul, Grup Orang Tua, dan Grup Mustika Ratu secara rutin membeli rempah dari Tommy. Ia juga mengekspor ke beberapa negara. Dengan jangkauan pasar seluas itu, omzet usahanya mencapai Rp 500 juta per bulan.
Untuk meraih sukses seperti sekarang, Tommy harus berjuang. Sejak kecil, sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara, ia sudah terbiasa hidup prihatin. Maklum, gaji ayah ibunya sebagai pegawai negeri sipil di Blora, Jawa Tengah, selalu habis untuk biaya sekolah anak-anak. Orangtuanya bertekad menyekolahkan semua anaknya sampai meraih gelar sarjana.
Alhasil, Tommy kecil hidup pas-pasan. Ia dan saudaranya hanya memiliki sepasang seragam dan sepatu sekolah. Mereka terbiasa makan tiwul lantaran tak ada cukup duit buat membeli beras. Lauk pauk yang paling istimewa adalah telur ceplok yang dibagi empat.
Meski tergolong anak nakal, Tommy kecil cukup pintar. Ia selalu meraih peringkat pertama saat di sekolah dasar. Ia juga mulus masuk ke SMP dan SMA. Selulus SMA, Tommy berhasil masuk universitas negeri lantaran prestasi belajarnya.
Nah, sembari kuliah di Semarang, pria yang baru saja berulang tahun pada 11 Maret lalu ini rajin mencari tambahan uang saku dengan berjualan gorengan. “Saya membeli sendiri tahu dan pisang ke pasar, membuat bumbu, dan jualan gorengan di dekat kampus,” kenang Tommy. Ia juga melayani order terjemahan ke bahasa Inggris dan membantu pembuatan skripsi.
Meski telah menjalani rupa-rupa kerja sejak kuliah, Tommy baru menggeluti pekerjaan sesungguhnya selepas lulus kuliah tahun 1990. Ia mendapat kesempatan bekerja sebagai tenaga penjual Grup Astra International. Targetnya adalah menjual mobil Daihatsu sebanyak-banyaknya. “Orang miskin dari kampung kok disuruh jualan mobil,” kenangnya sambil tergelak.
Bosan jadi pegawai
Toh, Tommy tak menyerah. Bahkan, ia berhasil menjaring pesanan 50 mobil dari institusi pemerintah. Berkat keuletannya, ia hanya butuh lima tahun untuk menjadi supervisor. Tak lama berselang, ia ditunjuk menjadi kepala cabang Astra International di Yogyakarta.
Bosan menjadi bawahan orang, setelah 12 tahun berjualan mobil, pada 2003 Tommy mengundurkan diri dan membuka usaha jual-beli mobil sendiri. Tapi, belum sempat mendapat untung, ia sudah tertipu dan kehilangan puluhan juta rupiah.
Tommy lantas beralih ke bisnis tanaman hias. Saat itu, anturium sedang booming. Dengan modal sekitar Rp 1 juta, ia membeli 1.000 anakan gelombang cinta. Ia lantas menjual tanaman itu seharga Rp 5.000 hingga Rp 50.000 per unit. Dari bisnis ini, ia untung besar.
Tommy pun memantapkan usahanya ke sektor agribisnis. Ia kepincut menggarap usaha jarak pagar untuk biodiesel. Tapi, lantaran belum berpengalaman, usahanya gagal dan ia merugi hingga Rp 400 juta. Ia terpaksa menjual rumahnya untuk menutupi kerugian.
Beruntung, sang kakak yang bekerja di Telkom menawari posisi staf pengajar di PT Telkom, Bandung. Ia mengajar para pensiunan dini Telkom mengelola uang dan menjadi pengusaha selama enam bulan.
Sambil mengajar, pada 2007 Tommy mulai berbisnis teh bunga rosela. Ia memodali petani di Semarang untuk menanam bunga ini dan menjualnya lewat internet. “Kualitas hasil panen saya lebih bagus dan permintaan ekspor terus bertambah,” ungkapnya.
Tapi, Tommy sempat merugi lagi saat berbisnis markisa. Lantaran mendapat pesanan dari pembeli di Amerika Serikat, ia menyiapkan lahan dan menanam markisa. Saat sudah dipanen dan siap dikirim, pembeli membatalkan kontrak. “Saya merugi Rp 200 juta,” ujarnya. Ia terpaksa mengirim sisa markisa yang belum busuk ke Makassar untuk dijadikan sirop.
Tommy lantas menanami lahan bekas markisa dengan jahe dan rempah-rempah untuk melayani pesanan dari Eropa dan industri dalam negeri. Total, per bulan ia bisa menjual sekitar 1.000 ton. Selain dari kebun sendiri, ia juga memberdayakan para petani di Temanggung, Pekalongan, Blora, dan Yogyakarta. Total luas lahannya sekitar 700 hektar.
Kini, selain lahan khusus untuk jahe dan rempah-rempah, Tommy juga memiliki 6.000 meter persegi lahan ditanami kelapa. Hasilnya berupa kopra ia kirim ke Surabaya. Tiap bulan, ia bisa memasok hingga 20 ton kopra. (Diade Riva Nugrahani/Kontan)
No comments:
Post a Comment