Usaha batik tidak lagi melulu diproduksi di Jawa, Papua pun sudah mulai merambah produk yang telah dipatenkan oleh Unesco ini. Salah satunya melalui kerajinan Batik Port Numbay, dengan Jimmy Hendrick Afaar menjadi salah satu pengusahanya. "Di Jayapura telah menjadi sentral dari Batik Port Numbay," tutur Jimmy kepada Kompas.com, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut pria yang memulai usaha batik pada 21 April 2007 ini, batik memang telah banyak diproduksi di Papua, namun batik Port Numbay, yang merupakan nama lain dari Kota Jayapura, memiliki standarisasi tersendiri. "Sebelum batik, dari tahun 1980 sampai 2006, saya bergabung dengan kelompok desainer," ungkap Jimmy yang sempat berguru batik di Pekalongan ini.
Untuk menjaga mutu produknya, Jimmy pun tak segan-segan mendatangkan pelatih dari Jawa, khususnya Yogyakarta, untuk mentraining para pekerjanya. Ia juga mengirimkan para pekerjanya ke Jawa. "Pelatihnya didatangkan dari balai pelatihan batik di Jogja," sebut pria yang sampai sekarang telah mempunyai 15 karyawan itu.
Karyawan lak-laki mengerjakan batik cap sedangkan perempuan menggarap batik tulis yang memang membutuhkan ketelitian dalam pengerjaannya. Dari 15 karyawannya itu, tiap bulan produksi batik Jimmy mencapai 2.000 potong batik cap dan 16 potong batik tulis berbahan sutra dan katun .
Dengan harga antara Rp 200.000 sampai Rp 2,25 juta per potong, omzet Jimmy yang pada awalnya hanya bisa memproduksi 16 potong kain ini, sekarang sudah mencapai Rp 20 juta per bulan, belum termasuk pesanan untuk seragam kawinan. Batik produknya pun sudah mencapai Surabaya dan Jakarta.
Jimmy yang menurut pengakuannya pernah bergabung dengan desainer Poppy Dharsono ini, lebih memilih batik berbahan dasar katun ketimbang sutra, mengingat iklim di Papua yang panas. Sedangkan sutra ditujukan bagi konsumen yang berkantong lebih. "Saya jarang buat sutra, lebih banyak katun," sebutnya, yang menjelaskan proses pengerjaan bahan sutra dapat memakan waktu 3 bulan.
Lebih dari sekedar usaha, melalui batik buatannya Jimmy mengaku bisa memberitakan tentang keindahan alam, pariwisata hingga budaya Papua. "Setiap orang yang memakai batik saya itu, setidak-tidaknya dia tahu tentang budayanya, dia tahu tentang pariwisatanya (Papua)," ungkapnya.
Ia menjelaskan motif batiknya bisa berupa sejumlah jenis daun, dengan maksud sebagai pengingat bagi pemakai batik, guna daun tersebut dalam pengobatan.
Untuk memperkenalkan produknya, Jimmy mengikuti berbagai pameran. Berkat pameran pula ia diundang oleh perancang Italia berkunjung ke negeri Pizza itu pada blan Juni mendatang.
Serupa dengan pengusaha lainnya, Jimmy pun menghadapi kendala permodalan untuk pengembangan usaha batiknya. "Belum ada "Bapak Angkat," seperti sejumlah BUMN,untuk membantu ukm-ukm di Papua," sebutnya. Sehingga sejauh ini, ia menjalankan usahanya sendiri, dibantu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat.
Menurut pria yang memulai usaha batik pada 21 April 2007 ini, batik memang telah banyak diproduksi di Papua, namun batik Port Numbay, yang merupakan nama lain dari Kota Jayapura, memiliki standarisasi tersendiri. "Sebelum batik, dari tahun 1980 sampai 2006, saya bergabung dengan kelompok desainer," ungkap Jimmy yang sempat berguru batik di Pekalongan ini.
Untuk menjaga mutu produknya, Jimmy pun tak segan-segan mendatangkan pelatih dari Jawa, khususnya Yogyakarta, untuk mentraining para pekerjanya. Ia juga mengirimkan para pekerjanya ke Jawa. "Pelatihnya didatangkan dari balai pelatihan batik di Jogja," sebut pria yang sampai sekarang telah mempunyai 15 karyawan itu.
Karyawan lak-laki mengerjakan batik cap sedangkan perempuan menggarap batik tulis yang memang membutuhkan ketelitian dalam pengerjaannya. Dari 15 karyawannya itu, tiap bulan produksi batik Jimmy mencapai 2.000 potong batik cap dan 16 potong batik tulis berbahan sutra dan katun .
Dengan harga antara Rp 200.000 sampai Rp 2,25 juta per potong, omzet Jimmy yang pada awalnya hanya bisa memproduksi 16 potong kain ini, sekarang sudah mencapai Rp 20 juta per bulan, belum termasuk pesanan untuk seragam kawinan. Batik produknya pun sudah mencapai Surabaya dan Jakarta.
Jimmy yang menurut pengakuannya pernah bergabung dengan desainer Poppy Dharsono ini, lebih memilih batik berbahan dasar katun ketimbang sutra, mengingat iklim di Papua yang panas. Sedangkan sutra ditujukan bagi konsumen yang berkantong lebih. "Saya jarang buat sutra, lebih banyak katun," sebutnya, yang menjelaskan proses pengerjaan bahan sutra dapat memakan waktu 3 bulan.
Lebih dari sekedar usaha, melalui batik buatannya Jimmy mengaku bisa memberitakan tentang keindahan alam, pariwisata hingga budaya Papua. "Setiap orang yang memakai batik saya itu, setidak-tidaknya dia tahu tentang budayanya, dia tahu tentang pariwisatanya (Papua)," ungkapnya.
Ia menjelaskan motif batiknya bisa berupa sejumlah jenis daun, dengan maksud sebagai pengingat bagi pemakai batik, guna daun tersebut dalam pengobatan.
Untuk memperkenalkan produknya, Jimmy mengikuti berbagai pameran. Berkat pameran pula ia diundang oleh perancang Italia berkunjung ke negeri Pizza itu pada blan Juni mendatang.
Serupa dengan pengusaha lainnya, Jimmy pun menghadapi kendala permodalan untuk pengembangan usaha batiknya. "Belum ada "Bapak Angkat," seperti sejumlah BUMN,untuk membantu ukm-ukm di Papua," sebutnya. Sehingga sejauh ini, ia menjalankan usahanya sendiri, dibantu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat.
No comments:
Post a Comment